
Jakarta –
Per 1 Januari 2025, pemerintah resmi menerapkan peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hanya mulai dikenakan buat barang mewah. Ini memiliki arti produk barang atau jasa yg yang lain tak akan mengalami pergantian tarif pajak.
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, barang glamor yang berlaku bagi peningkatan PPN menjadi 12% ini antara lain pesawat jet pribadi, yacht, sampai residensial glamor (rumah, kondominium, apartment, townhouse) dengan harga jual Rp 30 miliar atau lebih.
Lebih lanjut, balon udara, pesawat udara, peluru senjata api kecuali buat kebutuhan negara, helikopter, kalangan senjata api kecuali buat kebutuhan negara, sampai Perahu glamor yg bukan bagi transportasi lazim juga tergolong dalam barang glamor yang dikenakan pajak 12%. Kenaikan PPN juga berlaku untuk kendaraan bermotor yang kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyampaikan bahwa peningkatan PPN menjadi 12% hanya bagi barang glamor lebih kasatmata ke ekonomi. Meskipun, Bhima menambahkan, di sekarang ini harga barang kadung naik alasannya yakni hukum teknis PMK telat terbit.
“Ya, pemerintah alhasil ‘kan menimbang juga dampak daya beli penduduk menengah ke bawah dan jerih payah mikro kecil menengah (UMKM). Tetapi, yang dibutuhkan sehabis penghapusan PPN 12% ke barang dan jasa umum, harusnya pemerintah akan siapkan penurunan tarif PPN ke 8%,” kata Bhima di ketika dihubungi pada Rabu (1/1/2025).
Lebih lanjut, Bhima merinci, untuk mengambil alih penerimaan negara dengan tak jadi naiknya PPN ada banyak opsi. Pertama, Bhima bilang bahwa pemerintah bisa mulai mendesain pajak kekayaan.
“Pemerintah mampu mulai rancang pajak kekayaan, di mana total harta orang super kaya dipajaki 2%. Jadi, bukan pajak penghasilan, namun pajak harta yg selama ini Indonesia belum punya. Estimasinya akan diperoleh Rp 81,6 triliun sekali penerapan pajak kekayaan. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan G20 ‘kan mendorong pemberlakuan pajak kekayaan juga,” beber Bhima.
Bhima mengelaborasi lebih lanjut, pilihan kedua yakni dengan pemberlakuan pajak karbon yg diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) agar mampu dikerjakan tahun ini.
“Tinggal keluarkan PMK-nya saja kalau soal pajak karbon. Begitu diberlakukan ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, hasil pajak karbon mulai digunakan bagi dorongan belanja energi terbarukan yg serap tenaga kerja. Bagus juga pajak karbon untuk lingkungan hidup,” lanjutnya.
Ketiga, Bhima menyodorkan bahwa penerapan pajak buatan batubara di luar royalti yang lebih tinggi juga mampu memperbesar pemasukan negara. Keempat, Bhima bilang perlu untuk menutup “kebocoran” pajak di sektor sawit dan tambang.
“Kelima, penilaian semua insentif pajak yang tidak sempurna sasaran. Misalnya, perusahaan smelter nikel yang labanya besar sekali tidak perlu dikasih tax holiday,” tandas Bhima.
Simak Video Daftar Barang Kena PPN 12%: Dari Motor sampai Rumah Mewah
Leave feedback about this