
Jakarta – Pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menargetkan bauran energi gres terbarukan (EBT) 23% di tahun 2025. Sementara dikala ini, dikenali bauran EBT sekitar 14%.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai, sasaran tersebut berat dicapai. Pasalnya, langkah bauran EBT Indonesia telah tertinggal jauh. “Nanti kita lihat saja, hasil (bauran EBT) berapa di selesai 2025 besok. Mungkin kalau 23% berat alasannya kami telah ketinggalan jauh,” kata Fabby dikala dihubungi , Selasa (21/1/2025).
Namun begitu, Fabby menilai, ada langkah yang sanggup dijalankan pemerintah untuk memacu bauran EBT. Hal itu sejalan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada 2021-2030 menargetkan bauran EBT sebesar 52%.
Baca juga: AS Tarik Diri dari Perjanjian Iklim Paris, Transisi Energi Dunia Tak Terwujud? |
Dalam RUPTL, kata Fabby, PLN juga menargetkan daya pelengkap 9 gigawatt (GW) listrik. Namun, realisasinya terkendala. Menurutnya, rencana yang sudah tertuang dalam RUPTL lebih baik secepatnya dihukum sebanyak-banyaknya.
“Sampai dengan selesai tahun dulu, telah ada perjanjian dengan PPA buat pembangkit baru, ada yang selesai di 2025. Tapi salah satu yang sanggup dikejar cepat itu PLTS Atap. Makara aku harap kalau PLTS Atap sanggup masuk 2 GW itu bagus. Ini yang mesti dilihat pemerintah,” jelasnya.
“Saya kira dioptimalkan saja dari yang masih mesti bangun 9 GW itu, dibangun saja sebanyak-banyaknya. Nggak usah bilang revisi target-revisi target. Nanti selesai 2025 gres kami susun strategi,” imbuhnya.
Fabby menambahkan, capaian bauran EBT juga mesti mempergunakan sumber investasi swasta selaku salah satu instrumen pendanaan. Apalagi, akselerasi bauran EBT tidak sanggup mengandalkan keuangan negara.
“Jadi kalau kami ingin menawan investasi swasta, pembiayaan swasta, maka mesti ada reformasi kebijakan. Karena kalau kalian lihat dari dua kebijakan, pesona investasi energi terbarukan tergolong rendah di Asia Tenggara. Sehingga kami mesti memperbaiki kerangka regulasi kami untuk menawan investor,” jelasnya.
Fabby juga menilai, pendanaan publik dari Aturan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di mana subsidi energi yang digelontorkan hingga Rp 390 triliun, sanggup dikurangi buat mendanai EBT di Indonesia.
Selain itu, Fabby menganggap pemerintah juga perlu menimbang-nimbang pengenaan pajak ekspor energi menyerupai kerikil bara dan gas. Ia mengatakan, ekspor kerikil bara Indonesia sendiri meraih 500 ton per tahun, pengenaan pajak itu sanggup dialokasikan untuk membangun EBT dalam negeri.
“Coba pemerintah menimbang-nimbang bagi memajak ekspor kerikil bara tadi. Misalnya diambil 2,5% dari nilai ekspor kerikil bara itu untuk pajak yg dipakai bagi pembangunan energi terbarukan, dan gas juga. Dipajaki namun kemudian nanti dikelola, dibentuk buat pembiayaan energi terbarukan itu,” tutupnya.
Sebelumnya, Penasihat Khusus Presiden Urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro merekomendasikan agar sasaran bauran energi gres terbarukan (EBT) Indonesia 23% pada 2025, sanggup direvisi.
Purnomo mengatakan sasaran itu dibentuk pada 2007 dikala dirinya menjabat selaku Menteri ESDM. Capaian bauran EBT 2024 saja gres meraih 14%, sementara tahun ini ditargetkan 23%. Artinya telah memasuki 2025, terlihat sasaran itu cukup jauh.
Purnomo bercerita, sasaran bauran EBT 23% itu dibentuk pada tahun 2007 dikala Indonesia mengalami krisis. Saat itu pemerintah tengah memperoleh protes alasannya meminimalkan subsidi materi bakar minyak (BBM) dari sebelumnya 7 produk, namun 4 di antaranya mengikuti harga dunia.
Skema itu dijalankan untuk dialihkan menjadi santunan tunai eksklusif (blt) dari hasil produk yang mengikuti harga dunia. Subsidi eksklusif itu dijalankan agar sempurna sasaran bukan dipakai bagi orang kaya. Dalam suasana itu pemerintah mulai menjumlah bagaimana sasaran bauran EBT hingga 2025. Kala itu diakui memang dengan keadaan perekonomian dikala itu sasaran EBT 2025 sanggup meraih 23%.
“Sejak 2007 hingga kini belum pernah diubah. Makara pesan aku jangan meninggalkan sejarah. Karena tantangan itu ada di zamannya, kalau menengok ke belakang ‘ko begini?’ Tantanganya berbeda. Makara waktu kita design EBT 23%, (capaia sekarang) 14%, mohon maaf tolong direvisi, jadi (Kementerian) ESDM mesti direvisi,” kata beliau dalam program diskusi di Menara Dunia, Kamis (16/1/2025).energi gres terbarukanbauran ebttarget pemerintahkementerian esdminvestasi energiruptl