
Jakarta –
Desas desus akan terjadinya peningkatan utang negara pada era pemerintahan gres Presiden dan Wapres terpilih Prabowo – Gibran menjadi diskursus penting yang mesti dicermati publik dengan budi sehat baik. Bukan semata-mata sebab urusan politis, namun perhatian ini lebih didasari sebab efek paling besar dari adanya kebijakan penambahan utang negara ini. Jika terjadi, maka kebijakan ini menjinjing preseden buruk bagi percepatan pemerataan kemakmuran masyarakat.
Perlu diketahui, hingga hari ini utang luar negara Indonesia ke negara China sudah meningkat secara signifikan selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Artinya kalau kebijakan ini betul-betul diterapkan, maka akan memperbesar beban kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan data resmi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per Mei 2024, utang Indonesia ke China meraih 22,86 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 372,3 triliun dengan kurs Rp 16,288 per dollar AS. (Kemenkeu, 2024). Di segi lain, total keseluruhan utang mancanegara Indonesia pada periode sama sudah meningkat sebesar 407,3 miliar dollar AS atau setara Rp 6.634,1 triliun yang memiliki arti sudah mengalami peningkatan 0,8% year-on-year dari 4,24 miliar dollar AS dari Mei 2023 atau naik 2,1% dari 398,82 miliar dolar AS secara month to month (Kemenkeu, 2024).
Data tersebut juga sejalan dengan analisis rasio utang mancanegara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tercatat sebesar 29,8% dan ini didominasi oleh utang jangka panjang yang berhasil meraih sebesar 85% dari total keseluruhan utang negara. Jika dijalankan perhitungan secara mendalam, maka dari analisis ini sanggup dilihat kalau risiko utang negara akan memamerkan efek masif kalau tidak diantisipasi secara baik. Karena dikhawatirkan akan sanggup menjinjing konsekuensi negatif bagi keberlanjutan pelaksanaan pembangunan nasional.
Analisis Kebutuhan
Analisis efek risiko utang negara faktanya mesti tetap dirasionalisasikan dengan menyaksikan pada perkara ketergantungan pemerintah Indonesia dalam menjalankan peminjaman duit ke mancanegara dalam rangka untuk membiayai pembangunan negara. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI), utang pemerintah Indonesia ke Cina mengalami peningkatan 190% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Lonjakan utang terjadi mulai 2015 yang menandai tahun pertama dari era Presiden Jokowi dengan kisaran nilai 13,66 miliar dollar AS dari yang mulanya berada dalam kisaran 7,87 miliar dollar AS pada 2014.
Jika mengamati grafik peningkatan tersebut, salah satu penyebab terutama sebab penumpukan utang mancanegara demi membiayai pembangunan proyek besar seumpama Waduk Jatigede di Jawa Timur, jalan tol Medan – Kualanamu, dan megaproyek kereta cepat Jakarta- Bandung.
Khusus proyek yang terakhir justru malah memunculkan kontroversi sebab beban pembiayaan kereta cepat Jakarta – Bandung menggunakan dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) dengan penjaminan APBN untuk tercapainya target solusi proyek kereta cepat. Hal ini terang berisiko untuk suatu proyek pembangunan yang belum sanggup dijumlah laba maksimum yang kemungkinan akan diperoleh.
Terjadinya peningkatan utang demi menyanggupi target solusi proyek tergambar terang dari penumpukan utang pada sektor konstruksi yang mengalami kenaikan. Berdasarkan data BI peningkatan utang pada sektor konstruksi menjadi 27,32 miliar per dollar AS per Mei 2024 dari 19,36 miliar dollar AS pada 2014. Masih dalam catatan sama efek utang transportasi dan pergudangan juga mengalami peningkatan menjadi 24,44 miliar dollar AS per Mei 2024 dari yang sebelumnya 13,07 miliar dollar AS pada 2014 (BI, 2024).
Melihat angka-angka tersebut terang pemerintah mesti menjalankan kewaspadaan tinggi sebab menyaksikan suasana ekonomi global faktanya juga tidak terlampau aman dan stabil dalam mempertahankan ekonomi domestik. Sehingga kalau menjalankan perluasan pembangunan dalam negeri tanpa landasan analisis perkiraan yang matang, maka akan memberi efek risiko yang tinggi pula.
Terlebih kalau pemerintah berikutnya bertujuan menaikkan rasio utang pemerintah terhadap PDB hingga dengan 50 persen dalam jangka lima tahun mendatang, terang hal ini mempunyai kesempatan memunculkan tekanan bagi ekonomi dalam negeri. Akan ada respons pasar yang reaktif nantinya kalau hal ini dilakukan.
Dengan menyaksikan dosis perhitungan rasio utang pemerintah terhadap PDB seumpama yang terjadi dikala ini yang berada dalam kisaran 38,71 persen per Mei 2024, eskalasi keseimbangan fiskal Indonesia terang menjadi sungguh rawan. Apalagi kalau menyaksikan pada negara lain seumpama negara maju dunia seumpama Amerika Serikat yang mempunyai 122 persen, maka terang negara Indonesia masih jauh tertinggal.
Saat mengalami krisis ekonomi pada 1997, rasio utang Indonesia berada pada kisaran 23, 9 persen, namun hal ini sanggup dipahami sebab dikala itu terjadi ketidakstabilan politik yang juga tinggi. Sementara kini ini situasinya sedikit berbeda, sebab pemerintah nyatanya tidak mengeluarkan duit utang dengan PDB yang produktif namun berani menjalankan pembayaran menurut pendapatan utang baru.
Itulah yang menjadi kunci masalah, sebab berapa pun dapatkan PDB Indonesia dikhawatirkan tidak dapat mengkonversi selaku penghasilan atau pendapatan negara. Artinya Indonesia akan menjadi sungguh bergantung pada rasio pajak (tax ratio) selaku jalan emas dalam mencari serapan pendapatan yang maksimum. Jika ini terjadi, maka seumpama mengulang perkara sejarah ekonomi yang terjadi pada masa Hindia Belanda.
Seperti yang ditulis oleh J.S Furnivall dalam Netherlands India A Study of Plural Economy, dikala terjadi tekanan utang ekonomi yang dahsyat yang menimpa Hindia Belanda secara periodik sejak kala ke-17, yang dijalankan pemerintah kolonial yakni menjalankan kebijakan ekonomi berbasis fokus upeti dalam bentuk barang yang dimulai dengan desain pengaturan teladan buatan secara monopoli. Bahkan dalam kebijakan taktisnya pemerintah Hindia Belanda dikala itu menjalankan pemusatan perhatian terhadap pengaturan buatan rempah-rempah dan pajak budidaya gula yang diberlakukan pada kawasan Batavia, Sumatera Selatan, dan Banten (J.S Furnivall, 1939).
Melihat potret sejarah ekonomi Hindia Belanda, untuk mengantisipasi efek besar dan sistemik dari utang negara, pemerintah Indonesia dituntut bisa mengkalkulasikan secara proporsional berapa kesanggupan optimal atas utang negara. Karena dalam kalkulasi taktis, realisasi atas pendapatan negara pada 2024 kini ini nyatanya sudah melampaui angka 200 persen –demi sanggup mengeluarkan duit utang bunga pokok saja pemerintah sudah mesti membutuhkan banyak modal serapan besar secara konstan.
Kondisi tersebut terang riskan. Bagaimana kalau nantinya pemerintah mengalami gagal bayar bunga pokok, tentu ini memunculkan gerak reaktif bagi pergantian cepat resiko nilai tukar, pembiayaan kredit secara tinggi, dan tingginya penerbitan surat bermanfaat negara (SBN) yang menyebabkan efek ketidakstabilan politik ekonomi dalam negeri.
Pemetaan Rasional
Dengan sejumlah risiko yang besar, pemerintah berikutnya memang akan dituntut lebih hati-hati, efisien dan taktis dalam menghadapi efek perkara risiko utang negara secara besar. Beberapa pendekatan sederhana yang sanggup dijadikan pijakan rasional bagi pemerintah untuk sanggup mawas diri atas timbunan utang
negara.
Pertama, pemerintah mesti menjalankan suatu model kebijakan fiskal ekspansif gres untuk menstimulasi kelenturan banyak ruang perkembangan ekonomi domestik di tengah tingginya ketidakpastian ekonomi global. Dalam proporsi ini pemerintah mesti sanggup memaksimalkan penggunaan instrumen utang secara professional untuk
menutupi defisit budget dengan tidak memperbesar postur budget non pokok secara berlebih.
Kedua, pemerintah mesti menjalankan perumusan seni administrasi utang agar ke depan pengelolaan utang sanggup lebih bijaksana (prudent) dan risikonya pun menjadi sanggup terkendali. Dalam hal ini pemerintah mesti lebih tangkas mengidentifikasi faktor-faktor mana saja yang kokoh terhadap dinamika utang dengan tetap menurut pada kerangka struktur utama perkembangan ekonomi, keseimbangan primer, suku bunga riil, dan nilai tukar riil. Jika cermat, maka suasana ini memamerkan imbas yang optimal bagi manajemen utang pemerintah.
Besaran atas keseimbangan primer terang akan kokoh negatif terhadap tingginya pergantian rasio utang dimana nilai keseimbangan primer yang mendekati surplus akan sanggup meminimalisir pergantian rasio utang.
Ketiga, pemerintah mesti menyaksikan kestabilan utang negara dengan kekuatan variable makroekonomi yang lain seumpama halnya laju perkembangan PDB nominal agar risiko utang tetap terkendali. Selain itu, pemerintah mesti sanggup tetap fokus untuk menyaksikan pergerakan suku bunga riil, nilai tukar riil, dan komposisi utang agar risiko utang dari suku bunga dan valas tetap terkendali secara maksimal.
Di sinilah berbarengan tantangan pemerintah untuk sanggup mencari titik keseimbangan berkelanjutan. Di mana pemerintah mesti menyaksikan kembali mana saja keperluan utama pengeluaran pada masa mendatang dan mana belanja budget yang masih belum perlu untuk dikeluarkan. Dibutuhkan akselerasi tinggi untuk bisa mempertahankan manajemen utang negara yang lebih prudent. Realisasi ini akan mudah tercapai kalau ada dorongan kebijakan fiskal ekspansif kokoh demi suksesnya akselerasi pencapaian target pembangunan secara terukur dan terarah.
Haris Zaky Mubarak, MA analis dan mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia
utang pemerintahkeuangan negara